Selamat Datang Diblog Saya Ini Semoga Postingan Saya Bisa Bermanfaat Bagi Para Pembaca Sekalian

Jumat, 05 Februari 2010

TIPS MENGHENTIKAN ONANI

,
Pada dasarnya, perbuatan onani itu mirip dengan ‘azl, dari sisi sama-sama menumpahkan sperma di luar rahim.

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum ‘azl. Sebagian ulama, yakni kalangan Madzhab Dzahiri mengharamkan ‘azl secara mutlak. Mereka berdalih dengan sebuah hadits riwayat Judzamah binti Wahab, bahwa ada bberapa orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ‘azl, beliau saw menjawab :

“Yang demikian itu adalah penguburan bayi hidup-hidup secara samar.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim)

Namun demikian, Imam Ghazali menyanggah pendapat mereka, dan berkata, “Ada beberapa riwayat shahih yang membolehkan ‘azl.” Adapun maksud sabda Rasulullah saw, “... adapun demikian itu adalah penguburan bayi hidup-hidup secara samar.” Sama dengan sabda Rasulullah saw, “sebagai syirik yang samar.” Oleh karena itu, hukum ‘azl adalah makruh, bukan haram. Yang dimaksud dengan makruh di sini –menurut Ghazali– adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan yang baik.

Sebagian ulama dari Madzhab Hanafi membolehkan ‘azl (mubah) jika istrinya menyetujui, dan makruh jika istri tidak memberikan persetujuannya. [Iman Syaukani, Nail al-Author, juz 6/322]. Sedangkan Imam Syafi’iy berpendapat, bahwa ‘azl boleh dilakukan meskipun tidak diizinkan oleh istri.

Ulama-ulama lain, dari kalangan shahabat, misal, Sa’ad bi Abi Waqash, Ibnu Abbas, Umar dan Ali ra membolehkan ‘azl dan menganggapnya bukan sebagai penguburan janin. Sedangkan para ulama madzhab yang membolehkan ‘azl adalah Imam Syafi’iy, Imam Malik, dan lain sebagainya.

Adapun riwayat-riwayat yang membolehkan ‘azl adalah sebagai berikut; dari Jabir ra dituturkan, bahwasanya ia berkata :

“Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah saw. sedangkan al-Qur’an masih turun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits, dari Jabir bin Abdullah, bahwasanya ia berkata :

“Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah saw. Lalu, kami menyampaikan hal itu kepada Nabi saw, dan beliau tidak melarangnya.” (HR. Muslim)

Imam Turmudziy juga mengetengahkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah, bahwasanya ia berkata :

“Kami mengajukan kepada Rasulullah saw, bahwa kami melakukan ‘azl, dan orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai penguburan bayi hidup-hidup. Kemudian beliau saw berkata, “Orang-orang Yahudi itu telah berbohong, sesungguhnya jika Allah hendak menciptakannya, maka Ia tidak akan mencegahnya.” Hadits semacam ini juga diriwayatkan oleh Umar, al-Bara’, Abu Harairah, dan Abu Sa’ud.

Pensyarah Sunan Turmudzi, Imam Mubarakfuriy menyatakan, “Hadits ini adalah menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan ‘azl.” [Imam Maubarakfuriy, Tufhat al-Ahwadzi, hadits no.1055].

Tarjih Terhadap Dalil

Memang, ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Jadzimah binti Wahab al-Asadiyyah yang melarang ‘azl : Rasulullah saw pernah hadir di tengah-tengah orang banyak seraya berkata, “Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk melarang ghilah (menggauli istri yang masih dalam masa menyusui anaknya). Aku kemudian mengamati orang-orang Persia dan Romawi, ternyata mereka tidak melakukan ghilah, tetapi toh hal itu tidak membahyakan anak-anak mereka sama sekali.”

Para shahabat kemudian bertanya tentang masalah ‘azl. Beliau kemudian menjawab, “’Azl adalah tindakan pembunuhan secara samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah : “Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya.” (TQS. At-Takwir [81] : 8).”

Hadits ini bertentangan dengan sejumlah hadits shahih lain yang secara gamblang membolehkan ‘azl. Dalam hal ini, jika ada hadits yang bertentangan dengan hadits-hadits lain yang lebih banyak, maka hadits-hadits yang banyak itulah yang lebih rajih (lebih valid) dibandingkan dengan yang sedikit. Atas dasar ini, hadits yang bersumber dari Jadzimah binti Aawab al-Asadiyyah tersebut tertolak, karena bertentangan dengan beberapa hadits lain yang lebih kuat dan lebig banyak jalur periwayatannya.

Tidak juga bisa dikatakan bahwa dengan metode penggabungan (thariq al-jam’i) antara hadits tersebut dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl, hadits tersbut berarti menunjukkan pada makruhnya ‘azl.

Metode penggabungan hadits hanya mungkin dilakukan jika tidak ada kontadiksi –yakni berupa penolakan Rasulullah saw yang terdapat dalam hadits lain– dengan pengertian yang sama yang ditunjukkan oleh hadits tersebut. (Artinya, terdapat penolakan Rasulullah pada hadits kedua, sedangkan dalam beberapa hadits lainnya larangan itu tidak ditemukan, pen). Sebab, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud yang bersumber dari Abu Sa’id dinyatakan : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyatakan bahwa ‘azl adalahtindakan pembunuhan keji.” Beliau kemudian menjawab, “Orang-orang Yahudi itu telah berdusta.” Sementara itu, hadits Jadzimah : “’Azl adalah tindakan pembunuhan secara samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah : “Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya.” (TQS. At-Takwir [81] : 8).”

Dengan demikian, upaya penggabungan kedua hadits ini tidak mungkin dilakukan. Boleh jadi, salah satu hadits di atas sudah dihapus (mansukh) atau salah satunya lebih kuat sehingga hadits lain yang lebih lemah tertolak. Hanya saja, sejarah kedua hadits itu tidak cukup dikenal. Sementara itu, hadits yang dituturkan oleh Abu Sa’id didukung oleh sejumlah hadits lain yang cukup banyak, sedangkan hadits yang dituturkan oleh Jadzimah hanya satu, tidak diperkuat oleh hadits-hadits lain. Oleh karena itu, hadits yang ditutrkan oleh Jadzimah adalah tertolak, sementara hadits lain yang lebih kuat ketimbang hadits tersebut dipandang lebih rajih (lebih valid).

Walhasil, secara mutlak, ‘azl dibolehkan, bukan sesuatu yang makruh; apa pun motif atau tujuan orang melakukannya. Sebab, dalil-dalil tentang kebolehan ‘azl sifaynya umum. Serang suami yng ingin melakukan ‘azl tidak perlu meminta izin istrinya, karena perkara ini bergantung pada suami, bukan pada istri. Dalam hal ini, tidak dapat dikatakan bahwa, karena persetubuhan (jima’) sesungguhnya adalah hak seorang istri, maka air mani (sperma) manjadi hak istri, sehingga suami tidak boleh menumpahkan spermanya di luar vagina istrinya tanpa seizinnya. Kesimpulan semacan ini didasarkan pada upaya mencai ‘illat dengan metode rasionalisasi (‘illat ‘aqliyyah), bukan didasarkan pada metode syar’i, sehingga tidak memiliki nilai apa-apa, bahkan tertolak. Memang benar, jima’ merupakan hak istri, tetapi penumpahan air mani bukanlah haknya.

0 komentar to “TIPS MENGHENTIKAN ONANI”

Posting Komentar

Pencerah hati


Fitur SMS Gratis Blog Ini

 

Jendela Dunia Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger Templates